TOKOH DAN PENCIPTA BATIK NASIONAL



Tahukah Kamu Siapakah Tokoh dan Pencipta Batik Nasional?

Batik sebagai karya cipta yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai intangible heritage Indonesia, saat ini mungkin ada jutaan pembatik dan pengusaha batik di tanah air. Namun, tidak banyak seniman batik yang memiliki ‘identitas’, sebuah ciri khas yang bisa membuat desainnya bisa dikenali tanpa harus melihat labelnya. Dari yang sedikit itu, ada nama Go Tik Swan Hardjonagoro, seorang legenda batik asal Solo yang menciptakan batik Indonesia, yang merupakan perpaduan motif dan teknik pewarnaan gaya klasik dengan gaya pesisir.

Go Tik Swan (umumnya dikenal dengan nama K.R.T. Hardjonagoro; lahir pada 11 Mei 1931) adalah seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang menetap di Surakarta. Ia dilahirkan sebagai putra sulung keluarga Tionghoa di kota Solo (Surakarta). Karena kedua orangtuanya sibuk dengan usaha mereka, Tik Swan diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, Tjan Khay Sing, seorang pengusaha batik di Solo. Ia mempunyai empat tempat pembatikan: dua di Kratonan, satu di Ngapenan, dan satu lagi di Kestalan, dengan karyawan sekitar 1.000 orang.

Sawunggaling, rengga puspita, kembang bangah, kuntul nglayang adalah beberapa motif ciptaan Go Tik Swan yang memperkaya khazanah batik Indonesia. Bahkan, motif sawunggaling yang berupa pertarungan sepasang ayam jantan dianggap sebagai masterpiece sang legenda yang juga menjadi harus dimiliki para pencinta batik. Batik rancangan Go Tik Swan mulai diproduksi tahun 1960, di sebuah rumah yang kini dikenal sebagai Dalem Hardjonegaran, di Jl. Yos Sudarso, Solo. Rumah yang menempati bidang tanah seluas 2000 meter persegi ini terdiri dari rumah utama dengan teras belakang berbentuk setengah lingkaran yang desainnya dbuat oleh Presiden Soekarno.
Titik balik Go Tik Swan sebagai pembatik dimulai dari perjumpaannya dengan Presiden Soekarno pada acara dies natalis Universitas Indonesia ke-5 tahun 1955. Go Tik Swan yang merupakan mahasiswa UI terpilih menarikan tarian Jawa, Gambir Anom, di Istana Negara. Terkesan oleh kehalusan gerak tubuh Go Tik Swan, Presiden Soekarno menyempatkan diri menyalaminya. Rupanya, tak hanya tarian itu yang memesona Presiden, tetapi juga karena penarinya adalah pemuda beretnis Tionghoa. Sesuatu yang langka saat itu, seorang Tionghoa bisa menari Jawa klasik.
Saat itulah, Soekarno mendapatkan inspirasi baru tentang idealisme persatuan. Ia lalu meminta Go Tik Swan mewujudkannya dalam satu desain batik. Bukan batik Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, dan lain - lainnya tetapi batik Indonesia. Untuk memenuhi permintaan presiden Soekarno Go Tik Swan melakukan perjalanan di berbagai kota di Jawa namun perjalanan tersebut selama lebih dari setahun yang panjang dan melelahkan lahir batin itu justru membuat inspirasinya buntu. Saat ituah seorang teman mengajaknya untuk beristirahat di Bali.

Di Campuhan, Ubud, Bali inilah Go Tik Swan merasa menerima ‘wahyu’ yang membuat pikirannya terang benderang dan menemukan tafsir sebuah desain batik. Dia segera kembali ke Solo dan mulai memproduksi motif batik tersebut di rumah kakeknya. Terciptalah wastra yang diberi nama ‘Parang Bima Kurda’, sebuah persembahan untuk Soekarno. Kurda bermakna tindakan berani, sedangkan Bima adalah karakter wayang, idola Sang Proklamator. Kemudian terciptalah motif - motif batik lainnya. Motif-motif batik itu di antaranya adalah motif sawunggaling, yang terinpsirasi saat ia melihat tradisi sabung ayam di Bali. Sabung ayam merupakan ritual awal masa tanam yang dipercaya bahwa tetesan darah ayam yang bertarung akan memberikan kesuburan pada bumi. Ia juga menciptakan motif parang mega kusuma, untuk Megawati Soekarno Putri saat menjadi wakil presiden. Batik ini kini berada di museum batik Danar Hadi, Solo.

Go Tik Swan memadukan corak klasik keraton (Solo dan Yogya) yang introver dengan gaya pesisir (Pekalongan, Tuban, Lasem) yang ekstrover. Perpaduan itu juga diterapkan dalam teknik pewarnaan. Warna sogan yang monokrom berpadu multiwarna khas pesisir yang cerah. Motif dari daerah lain seperti Cirebon, Madura, dan tenun Bali melengkapi metamorfosis motif batiknya. Perpaduan ini merupakan cara Go Tik Swan menafsirkan batik Indonesia sebagai lambang persatuan. Ia menghapus batas-batas kedaerahan, namun tetap mempertahankan nilai falsafah pada tiap corak dan teknik lokal yang menjadi akar masing-masing batik tersebut.




Komentar

Postingan Populer